urbanfolknews.com Jauh sebelum smartphone dan media sosial ‘menyerang’, dokumentasi keluarga terbatas pada momen besar, seperti Lebaran atau ulang tahun. Dan, ini cuman berlaku bagi orang yang banyak duit. Sebab, kamera analog harganya selangit. Sementara kamera digital, baru populer setelah 2000-an. Walhasil, banyak orang cuma bisa menyimpan masa kecil di ingatan, bukan di album foto. Ini yang enggak diketahui banyak anak muda sekarang.
Teknologi Artificial Intelligence alias AI muncul semacam jalan pintas. Lewat filter, generative image, atau manipulasi wajah, aplikasi bisa bikin versi ‘aku kecil vs aku sekarang’. Sensasinya campur aduk, antara nostalgia hangat dan semacam healing digital.
Tren mengenang masa kecil ini ternyata ada basis ilmiahnya. Sebuah studi dari Chinese Academy of Sciences, melihat foto masa kecil bisa mengurangi depresi rasa sakit karena nostalgia menstimulasi mekanisme neural yang meredakan stres. Riset lain di PMC menyebut, nostalgia membantu identitas diri dan kesejahteraan psikologis.
Tren ini tetap enggak bebas risiko. Ada potensi false memory: foto hasil rekayasa bisa bikin orang percaya pada memori yang sebenarnya enggak pernah ada.
Masalah privasi juga besar. Foto wajah adalah data biometrik yang termasuk sensitif di bawah UU PDP No. 27/2022. Mengunggahnya ke aplikasi berarti menyerahkan potongan identitas ke server pihak ketiga. Bisa bocor, dijual, atau disalahgunakan.
Bias algoritma juga berpotensi menimbulkan masalah. AI sering gagal merepresentasikan warna kulit, rambut, atau fitur lokal, karena dataset yang dipakai lebih dominan dari luar. Hasilnya bisa terasa aneh atau enggak akurat.
Pengguna AI harus sadar kalau ini cuma imajinasi digital, bukan pengganti kenangan nyata. Bijaklah memilih aplikasi, baca kebijakan privasi, dan ingat, foto buatan AI hanya bayangan masa lalu–bukan masa lalu itu sendiri.
Penulis: Adya Shiva Az-Zahra
Editor: Ridho