Kencan Bareng Siswi SMA Jepang
urbanfolknews.com Praktek bisnis prostitusi di Jepang sangat beragam. Pemerintah di Negeri Matahari Terbit itu memiliki regulasi prostitusi yang sangat longgar. Celah ini yang dimanfaatkan pelaku industri layanan esek-esek remaja berkelit dari jerat hukum.
Kelonggaran itu terlihat dari definisi prostitusi di Jepang. Peraturan di Negeri Matahari Terbit tersebut mendefinisikan prostitusi dianggap sebagai hubungan seksual dengan persetubuhan.
Celah itu kerap dimanfaatkan para pelaku industri prostitusi dalam berbagai praktek bisnis seks di lapangan.
Budi Mulyadi dalam studinya menjelaskan di Jepang Terdapat bisnis yang disebut Fozoku Gyokai. Di dalamnya menyediakan berbagai jenis jasa. Di antaranya ; penyediaan kamar berukuran kecil untuk menonton video porno.
Ada pula jasa Tekoki, yaitu jasa masturbasi menggunakan tangan. Serta Fashon Herusu, di mana pelayan wanita dengan menggunakan pakaian tertentu, seperti pelaut atau perawat yang memberikan layanan seks kepada pelanggannya.
Prostitusi Remaja Joshi Kosei
Di antara bisnis itu, Joshi Kosei yang merupakan pekerjaan umum yang banyak dilakukan gadis-gadis remaja SMA di Jepang. Mereka dipekerjakan sebagai Sales Promotion Girl (SPG). Tugasnya membagikan selebaran di pinggir jalan kepada calon pelanggan. Kebanyakan pria hidung belang.
Awalnya, para gadis Joshi Kosei ini hanya sebagai teman mengobrol atau teman kencan pelanggan. Istilah di Jepang, JK Walk (walking date).
Sama dengan praktek bisnis prostitusi lainnya. Para pemilik dan Pekerja Seks Komersial (PSK) termasuk Joshi Kosei kerap ‘bermain curang’ dengan menyediakan layanan seks berbayar untuk hubungan badan. Karena itu, tak heran, Joshi Kosei memiliki nama lain JK Bussines.
“Hal ini yang membuat bisnis seperti JK dan bisnis lainnya sulit tersentuh oleh hukum yang berlaku,” tulis Budi Mulyadi dalam studinya.
Salah satu titik paling terkenal untuk berburu gadis-gadis JK adalah daerah Akihabara di Tokyo, terutama di Gang JK. Di Gang JK, para gadis usia sekolah menengah menawarkan jasa kencan melalui pamflet yang berisi “menu” layanan. Mereka biasanya masih mengenakan seragam sekolah atau sudah berdandan ala cosplayer.
tirto.id menulis layanan JK beragam. Ada gadis JK osanpo yang menemani pelanggan berjalan-jalan. Ada JK cafe untuk layanan teman mengobrol, bermain game, diramal dengan menggunakan kartu tarot, atau pemotretan sebagai cosplayer di cafe. Ada JK rifure untuk pelanggan tiduran di paha sang gadis JK, sambil dipijat, atau dapat pelukan sesudahnya.
Semua layanan dibatasi waktu. Tergantung berapa uang yang pelanggan bayar. Maret lalu BBC Three merilis dokumenter yang mengulas fenomena ini dengan tajuk Young Sex For Sale in Japan. Reporter Stacey Dooley mengungkap perkiraan harganya adalah Rp660 ribu untuk 40 menit kencan di kafe—termasuk biaya minuman keras.
Lain layanan lain pula harganya. Semakin lama durasinya, semakin mahal tagihannya. Pendapatan rata-rata yang diterima para gadis JK berkisar di angka Rp 190 ribu per jam. Itu saja sudah sangat lumayan, sebab jumlahnya bisa dua kali lipat dari gaji kerja paruh waktu di industri jasa lain.
Upaya Memberantas Prostitusi Remaja
Berbagai praktek prostitusi ini kerap menjadi sorotan berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Terkhusus Joshi Kosei – JK yang dianggap sebagai bagian perdagangan perempuan di bawah umur.
Sebagai contoh. Pada 2017 lalu, Kepolisian Nasional Jepang menemukan sedikitnya 114 bisnis JK. Perinciannya 78 di Tokyo, 28 di Osaka, dan sisanya berada di kawasan lain, yaitu di Miyagi, Aichi, Kanagawa, dan Shizuoka.
Kembali ke Budi Mulyadi. Dalam studi literaturnya, menyebut, Kota Tokyo menjadi kota pertama yang melarang bisnis Joshi Kosei. Persisnya pada musim panas 2017.
Walaupun secara resmi bisnis ini bukanlah prostitusi, namun langkah ini diambil karena bisnis ini dikhawatirkan dapat berpotensi menjadi pintu gerbang menuju prostitusi. Pemerintah Tokyo melarang mereka yang berusia di bawah 18 tahun untuk bekerja dalam JK business.
Aturan ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2017. Pada Desember 2017, polisi Osaka menutup kelab dan menahan beberapa orang atas tuduhan melakukan eksploitasi terhadap anak di bawah umur.
Penulis : Haeda Dyah Masna Rahmadani